Mereka
ikhlas menerima kekurangan fisik tubuhnya sebagai “takdir” kehidupan. Namun,
mereka tak pernah memupuskan semangat dan terus bekerja keras menapaki tangga
prestasi untuk dipersembahkan bagi kebaikan kehidupan. Salut!
Tersebutlah
nama Usep Rohmat. Sungguh, tak salah sang ibu mengandungnya. Tak salah pula bila Usep terlahir sebagai
anak buruh tani yang miskin. Juga tak salah jika Usep terlahir tanpa dua tangan
dan hanya satu kaki.
Entahlah
kepedihan apa yang dilakoni Usep sepanjang masa balitanya, masa kanak-kanaknya,
hingga masa remajanya, ketika bermain di tengah keceriaan teman-teman sebaya
yang fisik tubuhnya normal. Hidup di tengah masyarakat yang kerap masih
menomorduakan mereka yang berpredikat “cacat fisik” atau difabel. Namun, dengan
serangkaian kepedihan dan kesedihan, dia berusaha tegar, mengukuhkan hati,
menguatkan jiwa, menerima kekurangan fisik tubuhnya sebagai takdir alam.
Hingga
akhirnya, setamat SMA di Ciwidey, Bandung, tahun 2011, Usep sempat bingung mau
ke mana arah hidupnya. Padahal, dia tak mau hidupnya menjadi beban keluarganya
yang miskin. Makanya, dengan segala
keterbatasan fisik tubuhnya, dia bertekad untuk memotong mata rantai kemiskinan
keluarganya yang turun-temurun berjibaku sebagai buruh tani. Dan, saat itu, betapa
dia merasa “tertinggal” melihat sejumlah temannya beramai-ramai menentukan
pilihan studi ke jenjang perguruan tinggi.
Diam-diam,
Usep pun lalu bergerak dan bertindak cepat. Dengan bekal uang Rp200.000
pemberian orangtuanya, ia membeli formulir seleksi nasional masuk perguruan
tinggi negeri (SNMPTN). Dia yakin bisa lulus ujian tertulis SNMPTN meski
kondisi fisiknya tidak sempurna. Dan benar, pria kelahiran 30 Desember 1993 ini
diterima masuk di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Bahagia bukan
kepalang menyelimuti hati dan pikiran Usep. Kedua orangtuanya hanya bisa
menangis terharu menyaksikan anaknya yang difabel lulus SNMPTN.
Akan tetapi, kabar baik itu malah membuat Usep dan orangtuanya bingung. Maklum, jalur SNMPTN tidak membebaskannya dari uang kuliah. Karena itu, dia pun lantas berjuang untuk memohon bantuan kepada kampus UNPAD. Bersyukur, UNPAD akhirnya membebaskan biaya kuliah Usep selama satu semester pertama.
Akan tetapi, kabar baik itu malah membuat Usep dan orangtuanya bingung. Maklum, jalur SNMPTN tidak membebaskannya dari uang kuliah. Karena itu, dia pun lantas berjuang untuk memohon bantuan kepada kampus UNPAD. Bersyukur, UNPAD akhirnya membebaskan biaya kuliah Usep selama satu semester pertama.
Sebagai
wujud rasa terima kasihnya kepada UNPAD, Usep ingin membalasnya dengan
prestasi. Dalam perjalanan waktu, ternyata pihak UNPAD pun coba mendaftarkannya
ke program beasiswa Bidikmisi. Dan, berhasil. Sejak saat itu, semua biaya
pendidikan Usep di UNPAD gratis. Bahkan, dia dapat tambahan uang untuk kos,
makan, transportasi dan lainnya, yang semuanya ditanggung oleh pemerintah. Di
UNPAD, Usep berhasil menorehkan indeks prestasi komulatif (IPK) yang tinggi,
yakni IPK 3,5.
Usep
Rohmat hanyalah satu contoh. Ada banyak “Usep lain” yang berpredikat “cacat”
atau difabel, juga sukses mengukir prestasi mengagumkan. Misalnya Angkie
Yudistia, finalis None Jakarta 2008 dan penulis buku Invaluable Experience to Pursue Dreams (Perempuan Tuna Rungu
Menembus Batas) 2011. Perempuan kelahiran 1987 yang lulus gemilang dari London
School of Public Relation, Jakarta (2009) ini, sempat bekerja di IBM Indonesia,
lalu di PT Geo Link Nusantara. Ia pun tercatat sebagai delegasi Indonesia di
ajang “Asia Pacific Center of Disability” (Thailand) dan “International Young
Hard of Hearing” (Perancis). Kini, ia memimpin Thisable Enterprise, penghubung
program corporate social responsibility
(CSR) perusahaan dengan kebutuhan kalangan difabel yang ingin mengembangkan
diri dan menjadikan keberadaannya bermakna di masyarakat.
Ada
juga Sugeng Widodo, penyandang tunadaksa (kaki) yang berhasil menjadi produsen
kaki palsu. Pun Tolhas Damanik, penyandang tunanetra yang berhasil menggondol
gelar Master (S2) bidang Konseling dari Ohio University, AS. Kemudian Arya Yoga
Rudhita, yang lumpuh dan sehari-hari ditopang oleh kursi roda, yang berhasil
menjadi pengusaha asesoris motor. Berikutnya Stephanie Handojo, yang sejak
lahir mengalami down syndrome, namun
sukses menyabet medali emas di beberapa ajang renang, yang kemudian terpilih
sebagai salah seorang pembawa obor Olimpiade London 2012.
Juga
Ryan Yohwari, sejak lahir tangan kirinya hanya sebatas siku dan tangan kanannya
yang utuh hanya memiliki tiga jari, jadi jagoan bulu tangkis yang meraih medali
emas ASEAN Para Games VI 2011 dan medali perak di ajang Badminton World
Championship 2013. Lalu, M. Sabar Gorky, meski hanya dengan satu kaki, dia
sukses menjadi orang pertama di dunia yang berhasil mendaki dengan kemampuan
sendiri hingga puncak Gunung Elbrus di Eropa dan Gunung Kilimanjaro di Afrika.
(Selanjutnya, simak pada edisi cetak No.03/II/2015 [Maret-April]. Dapatkan di Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Books & Beyond, Koperasi Mahasiswa, dll. Hotline: 081312367689 dan/atau 081317264116).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar