Majalah "Prestasi Anak Nusantara"

Sabtu, 02 Mei 2015

Cerita Utama: Penyandang Cacat Berprestasi Hebat




Mereka ikhlas menerima kekurangan fisik tubuhnya sebagai “takdir” kehidupan. Namun, mereka tak pernah memupuskan semangat dan terus bekerja keras menapaki tangga prestasi untuk dipersembahkan bagi kebaikan kehidupan. Salut!

Tersebutlah nama Usep Rohmat. Sungguh, tak salah sang ibu mengandungnya. Tak salah pula bila Usep terlahir sebagai anak buruh tani yang miskin. Juga tak salah jika Usep terlahir tanpa dua tangan dan hanya satu kaki.

Entahlah kepedihan apa yang dilakoni Usep sepanjang masa balitanya, masa kanak-kanaknya, hingga masa remajanya, ketika bermain di tengah keceriaan teman-teman sebaya yang fisik tubuhnya normal. Hidup di tengah masyarakat yang kerap masih menomorduakan mereka yang berpredikat “cacat fisik” atau difabel. Namun, dengan serangkaian kepedihan dan kesedihan, dia berusaha tegar, mengukuhkan hati, menguatkan jiwa, menerima kekurangan fisik tubuhnya sebagai takdir alam.

Hingga akhirnya, setamat SMA di Ciwidey, Bandung, tahun 2011, Usep sempat bingung mau ke mana arah hidupnya. Padahal, dia tak mau hidupnya menjadi beban keluarganya yang miskin. Makanya, dengan segala keterbatasan fisik tubuhnya, dia bertekad untuk memotong mata rantai kemiskinan keluarganya yang turun-temurun berjibaku sebagai buruh tani. Dan, saat itu, betapa dia merasa “tertinggal” melihat sejumlah temannya beramai-ramai menentukan pilihan studi ke jenjang perguruan tinggi.

Diam-diam, Usep pun lalu bergerak dan bertindak cepat. Dengan bekal uang Rp200.000 pemberian orangtuanya, ia membeli formulir seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Dia yakin bisa lulus ujian tertulis SNMPTN meski kondisi fisiknya tidak sempurna. Dan benar, pria kelahiran 30 Desember 1993 ini diterima masuk di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Bahagia bukan kepalang menyelimuti hati dan pikiran Usep. Kedua orangtuanya hanya bisa menangis terharu menyaksikan anaknya yang difabel lulus SNMPTN.

Akan tetapi, kabar baik itu malah membuat Usep dan orangtuanya bingung. Maklum, jalur SNMPTN tidak membebaskannya dari uang kuliah. Karena itu, dia pun lantas berjuang untuk memohon bantuan kepada kampus UNPAD. Bersyukur, UNPAD akhirnya membebaskan biaya kuliah Usep selama satu semester pertama.

Sebagai wujud rasa terima kasihnya kepada UNPAD, Usep ingin membalasnya dengan prestasi. Dalam perjalanan waktu, ternyata pihak UNPAD pun coba mendaftarkannya ke program beasiswa Bidikmisi. Dan, berhasil. Sejak saat itu, semua biaya pendidikan Usep di UNPAD gratis. Bahkan, dia dapat tambahan uang untuk kos, makan, transportasi dan lainnya, yang semuanya ditanggung oleh pemerintah. Di UNPAD, Usep berhasil menorehkan indeks prestasi komulatif (IPK) yang tinggi, yakni IPK 3,5.




Usep Rohmat hanyalah satu contoh. Ada banyak “Usep lain” yang berpredikat “cacat” atau difabel, juga sukses mengukir prestasi mengagumkan. Misalnya Angkie Yudistia, finalis None Jakarta 2008 dan penulis buku Invaluable Experience to Pursue Dreams (Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas) 2011. Perempuan kelahiran 1987 yang lulus gemilang dari London School of Public Relation, Jakarta (2009) ini, sempat bekerja di IBM Indonesia, lalu di PT Geo Link Nusantara. Ia pun tercatat sebagai delegasi Indonesia di ajang “Asia Pacific Center of Disability” (Thailand) dan “International Young Hard of Hearing” (Perancis). Kini, ia memimpin Thisable Enterprise, penghubung program corporate social responsibility (CSR) perusahaan dengan kebutuhan kalangan difabel yang ingin mengembangkan diri dan menjadikan keberadaannya bermakna di masyarakat.


Ada juga Sugeng Widodo, penyandang tunadaksa (kaki) yang berhasil menjadi produsen kaki palsu. Pun Tolhas Damanik, penyandang tunanetra yang berhasil menggondol gelar Master (S2) bidang Konseling dari Ohio University, AS. Kemudian Arya Yoga Rudhita, yang lumpuh dan sehari-hari ditopang oleh kursi roda, yang berhasil menjadi pengusaha asesoris motor. Berikutnya Stephanie Handojo, yang sejak lahir mengalami down syndrome, namun sukses menyabet medali emas di beberapa ajang renang, yang kemudian terpilih sebagai salah seorang pembawa obor Olimpiade London 2012.


Juga Ryan Yohwari, sejak lahir tangan kirinya hanya sebatas siku dan tangan kanannya yang utuh hanya memiliki tiga jari, jadi jagoan bulu tangkis yang meraih medali emas ASEAN Para Games VI 2011 dan medali perak di ajang Badminton World Championship 2013. Lalu, M. Sabar Gorky, meski hanya dengan satu kaki, dia sukses menjadi orang pertama di dunia yang berhasil mendaki dengan kemampuan sendiri hingga puncak Gunung Elbrus di Eropa dan Gunung Kilimanjaro di Afrika.

Masih ada sederet nama para difabel di Indonesia ini yang memberikan pembelajaran bahwa cacat fisik bukanlah penghalang untuk menorehkan sukses dan prestasi yang terbaik dalam hidupnya. Karenanya, tidak ada alasan bagi mereka yang dianugerahi fisik tubuh serba “normal” untuk tidak berpacu dalam mengukir sukses dan prestasi. Bagi mereka yang “normal” justru harus menunjukkan bahwa kesempurnaan fisik tubuh bisa menjadi sarana guna meraih sukses dan prestasi yang lebih baik. Kalau tidak, berarti mereka termasuk orang yang tidak tahu diri, tidak tahu rasa syukur, tidak tahu rasa berterima kasih kepada Tuhan yang menciptakannya. ***

(Selanjutnya, simak pada edisi cetak No.03/II/2015 [Maret-April]. Dapatkan di Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Books & Beyond, Koperasi Mahasiswa, dll. Hotline: 081312367689 dan/atau 081317264116).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar